Investasi bukan lagi sekadar kegiatan, melainkan gaya hidup baru bagi generasi milenial. Seiring dengan meningkatnya literasi keuangan di kalangan kaum muda, mereka tidak hanya mengandalkan tabungan atau deposito untuk menjaga nilai kekayaan. Kini, mereka melirik berbagai instrumen investasi dengan potensi return tinggi. Namun, di balik potensi keuntungan tersebut, terdapat risiko P2P lending yang perlu diperhatikan baik oleh investor maupun peminjam.
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel sebelumnya, P2P lending adalah tempat di mana pemilik modal atau investor bertemu dengan debitur atau peminjam. Investor menyediakan dana, sementara peminjam membutuhkan pinjaman. Platform P2P lending bertindak sebagai perantara untuk mempertemukan keduanya, dengan transaksi dilakukan secara online melalui aplikasi digital.
Investasi selalu membawa peluang untung dan risiko rugi. Salah satu keuntungan utama investasi di P2P lending adalah tingkat pengembalian yang bisa jauh lebih besar dibandingkan dengan instrumen investasi konvensional seperti deposito.
Beberapa platform P2P lending bahkan menawarkan tingkat pengembalian hingga 20% per tahun. Namun, sebagai investor, Anda perlu menyadari risiko gagal bayar yang mungkin terjadi. Meskipun lembaga fintech melakukan kurasi terhadap pengajuan hutang, risiko default tetap ada.
Beberapa aplikasi P2P lending menyediakan asuransi gagal bayar, namun tetap saja dana debitur tidak akan kembali utuh. Oleh karena itu, penting bagi investor untuk memilih platform P2P yang terdaftar di OJK dan melakukan seleksi yang cermat terhadap aplikasi yang mereka pilih.
Untuk mengurangi risiko, pilihlah peminjam dengan track record baik. Hindari memberikan pinjaman kepada peminjam dengan rating C atau lebih buruk, karena mereka memiliki risiko gagal bayar yang tinggi. Jika ingin lebih aman, fokuskan pinjaman pada pengajuan dengan rating A.
Selain itu, pilihlah platform fintech yang transparan tentang statistik pembayaran. Dengan demikian, Anda dapat menganalisis tingkat keberhasilan pembayaran sebuah perusahaan dengan lebih akurat.
Ada dua pihak yang terlibat dalam skema P2P lending: investor dan peminjam. Investor memilih peminjam yang dianggap mampu melunasi hutang beserta bunga. Peminjam, setelah pengajuan hutang disetujui, akan menerima dana dan wajib melunasi hutang sesuai kesepakatan.
Risiko bagi peminjam adalah jika gagal melunasi pinjaman, aset yang dijadikan jaminan dapat disita. Selain itu, bunga yang membengkak karena keterlambatan pembayaran juga dapat menjadi sumber kerugian.
Bagi investor, proses dimulai dengan pemilihan peminjam dari daftar yang disediakan oleh aplikasi P2P lending. Setelah analisis data, investor menawarkan nominal pembiayaan dengan tawaran pinjaman. Investor akan mendapatkan pengembalian uang ditambah bunga sesuai dengan perjanjian awal.
Meskipun pandemi Covid-19 berkepanjangan, sektor layanan pinjaman P2P lending menunjukkan peningkatan yang positif. Saat ini, terdapat 158 perusahaan fintech P2P lending di Indonesia, dengan 125 di antaranya terdaftar dan 33 sudah memiliki izin.
Peningkatan ini juga terlihat dari jumlah rekening peminjam dan pemberi pinjaman yang terus bertambah. Sebagai contoh, jumlah rekening peminjam pada Mei 2020 mencapai 25.189.941, meningkat sebesar 187,87% year-on-year. Sementara jumlah rekening pemberi pinjaman mencapai 654.201, dengan peningkatan 36,22% year-on-year.
P2P lending juga menjadi sumber pembiayaan bagi sektor usaha kecil dan menengah, terutama dalam sektor informal seperti perdagangan, pertanian, dan peternakan. Untuk meminimalkan risiko gagal bayar di masa mendatang, Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia telah mengeluarkan Fintech Data Center (FDC) untuk menyatukan data perusahaan fintech lending. Hal ini memudahkan anggota untuk melakukan penilaian kredit dan mencegah risiko kredit macet.
Sebagai pemilik modal, kehati-hatian dalam memilih peminjam, pemahaman terhadap profil debitur dan perusahaan penyelenggara, serta selektif terhadap platform P2P lending, menjadi kunci sukses dalam mengelola investasi di sektor ini. Pilihlah platform yang sudah terdaftar di OJK dan sesuai dengan kebutuhan dan minat Anda, untuk memaksimalkan potensi keuntungan dan meminimalkan risiko.
Memahami Konsep P2P Lending
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel sebelumnya, P2P lending adalah tempat di mana pemilik modal atau investor bertemu dengan debitur atau peminjam. Investor menyediakan dana, sementara peminjam membutuhkan pinjaman. Platform P2P lending bertindak sebagai perantara untuk mempertemukan keduanya, dengan transaksi dilakukan secara online melalui aplikasi digital.
Risiko Kerugian dalam P2P Lending
Investasi selalu membawa peluang untung dan risiko rugi. Salah satu keuntungan utama investasi di P2P lending adalah tingkat pengembalian yang bisa jauh lebih besar dibandingkan dengan instrumen investasi konvensional seperti deposito.
Beberapa platform P2P lending bahkan menawarkan tingkat pengembalian hingga 20% per tahun. Namun, sebagai investor, Anda perlu menyadari risiko gagal bayar yang mungkin terjadi. Meskipun lembaga fintech melakukan kurasi terhadap pengajuan hutang, risiko default tetap ada.
Beberapa aplikasi P2P lending menyediakan asuransi gagal bayar, namun tetap saja dana debitur tidak akan kembali utuh. Oleh karena itu, penting bagi investor untuk memilih platform P2P yang terdaftar di OJK dan melakukan seleksi yang cermat terhadap aplikasi yang mereka pilih.
Strategi Mengelola Risiko P2P Lending
Untuk mengurangi risiko, pilihlah peminjam dengan track record baik. Hindari memberikan pinjaman kepada peminjam dengan rating C atau lebih buruk, karena mereka memiliki risiko gagal bayar yang tinggi. Jika ingin lebih aman, fokuskan pinjaman pada pengajuan dengan rating A.
Selain itu, pilihlah platform fintech yang transparan tentang statistik pembayaran. Dengan demikian, Anda dapat menganalisis tingkat keberhasilan pembayaran sebuah perusahaan dengan lebih akurat.
Mekanisme Transaksi di P2P Lending
Ada dua pihak yang terlibat dalam skema P2P lending: investor dan peminjam. Investor memilih peminjam yang dianggap mampu melunasi hutang beserta bunga. Peminjam, setelah pengajuan hutang disetujui, akan menerima dana dan wajib melunasi hutang sesuai kesepakatan.
Risiko bagi peminjam adalah jika gagal melunasi pinjaman, aset yang dijadikan jaminan dapat disita. Selain itu, bunga yang membengkak karena keterlambatan pembayaran juga dapat menjadi sumber kerugian.
Bagi investor, proses dimulai dengan pemilihan peminjam dari daftar yang disediakan oleh aplikasi P2P lending. Setelah analisis data, investor menawarkan nominal pembiayaan dengan tawaran pinjaman. Investor akan mendapatkan pengembalian uang ditambah bunga sesuai dengan perjanjian awal.
Meskipun pandemi Covid-19 berkepanjangan, sektor layanan pinjaman P2P lending menunjukkan peningkatan yang positif. Saat ini, terdapat 158 perusahaan fintech P2P lending di Indonesia, dengan 125 di antaranya terdaftar dan 33 sudah memiliki izin.
Peningkatan ini juga terlihat dari jumlah rekening peminjam dan pemberi pinjaman yang terus bertambah. Sebagai contoh, jumlah rekening peminjam pada Mei 2020 mencapai 25.189.941, meningkat sebesar 187,87% year-on-year. Sementara jumlah rekening pemberi pinjaman mencapai 654.201, dengan peningkatan 36,22% year-on-year.
P2P lending juga menjadi sumber pembiayaan bagi sektor usaha kecil dan menengah, terutama dalam sektor informal seperti perdagangan, pertanian, dan peternakan. Untuk meminimalkan risiko gagal bayar di masa mendatang, Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia telah mengeluarkan Fintech Data Center (FDC) untuk menyatukan data perusahaan fintech lending. Hal ini memudahkan anggota untuk melakukan penilaian kredit dan mencegah risiko kredit macet.
Sebagai pemilik modal, kehati-hatian dalam memilih peminjam, pemahaman terhadap profil debitur dan perusahaan penyelenggara, serta selektif terhadap platform P2P lending, menjadi kunci sukses dalam mengelola investasi di sektor ini. Pilihlah platform yang sudah terdaftar di OJK dan sesuai dengan kebutuhan dan minat Anda, untuk memaksimalkan potensi keuntungan dan meminimalkan risiko.